A.
Peradilan di masa Bani Umayah
a.
Sekilas tentang
Sejarah Bani Umayah
Sesudah terjadinya kekacauan di masa
Ali yang berakhir yang menandakan masa
Khalifah al-Rasyidin berakhir, fase selanjutnya pemerintahan
dipimpin oleh Dinasti Umayah. Dinasti ini di beribu kota di Damaskus dengan
Khalifah pertamanya yaitu nn Muawiyah bin Abi Sofyan yang merupakan pendiri
Dinasti Umayah itu sendiri.[1]
Dinasti umayah berkuasa selama kurang
lebih 91 tahun dengan 14 Khalifah, namun hanya lima Khalifah yang menduduki
jabatan dalam waktu yang cukup panjang dan memberikan pengaruh bagi perkembangan
Islam. Kelima Khalifah tersebut yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin
Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hasyim bin Abdul Malik.
Sistem politik dan pemerintahan pada masa ini telah berubah, pemerintahan tidak
lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian Khalifah
sebelumnya. Suksesi dilakukan secara turun temurun.
b.
Ciri khas peradilan Islam di
masa Bani Umayah
Pada zaman
Dinasti Umayah, al-qadha dikenal
dengan al-Nizham al-Qadhaaiy
(organisasi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari
kekuasaan politik. ada dua ciri khas peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu :[2]
1.
Hakim
memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-halyang tidak
ada nash atau ijma’. Ketika itu
mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para
hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.
Lembaga
peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa
itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh
keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan mereka tidak saja berlaku atas
rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut
yang lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan mencatat yang
menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan.
Pada zaman Bani Umayah ini, pengangkatan
qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan
adalah Khalifah, sementara qadhi yang
bertugas di daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah. Sedangkan
wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara,namun yang
melaksanakan hasil putusan tersebut adalah Khalifah atau orang yang
diperintahkan untuk melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuan terdakwa
adalah qishash, sementara yang
menjalankan hukum qishash tersebut
adalah Khalifah sendiri.[3]
Hukuman yang
biasanya diputuskan dalam pengadilan pada masa ini adalah dalam bentuk denda,
skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus khusus
seperti bid’ah dan murtad
hukuman mati menjadi hukuman final.
c.
Bentuk Peradilan
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa
Bani Umayah ini dapat dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:[4]
a.
al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan
perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga
mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.
b.
al-Hisbah merupakan tugas al-muhtasib
(kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana
yang memerlukan tindakan cepat. Selain itu al-muhtasib
juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar, memeriksa takarandan
timbangan serta ikut mengawasi kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana
yang tidak layak di depan umum.
Kewengangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat
baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam
masyarakat. Upaya ini digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanana
terhadap ketentuan-ketentuaun hukum agar dapat terealisasi dalam masyarakat
secara maksimal. Disamping itu wilayah hisbah
dapat memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan
pelanggaran.
c.
al-Nadhar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari
mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-Hisbah). Lembaga ini juga dapat
mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah.
Dalam pengadilan kategori ini dalam melakukan
sidangnya langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana Khalifah Abdul Malik
bin Marwan yang pernah menjadi ketua mahkamah
mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan dibantu
oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu:
1.
Pembela, kelompok ini dipilih
dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwah yang menggunakan
kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
2.
Hakim, hakim yang berprofesi
sebagai penasihat bagi kepala mahkamah
al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang
teraniaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh
yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya.
3.
Ahli
fikih, sebagaitempat para hakim mahkamah
al-mazhalim mengembalikan perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya.
Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Umayah
yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: pertama, setiap kota memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam
mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad
dan bukan taqlid. Kedua,Qadha dan fatwa dipandang sederajad. Fatwa dalam
periode ini sama dengan qadha; yaitu
fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa
yang dikeluarkan qadhi menjadi hukum.
Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh
keputusan qadhi yang lain. Karena
ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
4.
Sekretaris,
bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang
menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
5.
Saksi,
bertugas memberian keasaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh
hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim ini dinyatakan tidak
sah, apabila salah satu unsur yang lima tersebut tidak hadir.[5]
Jadi, sistem peradilan pada masa Bani
Umayah telah berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh hakim
dalam menetapkan suatu perkara. Penilaian ini jika dirujuk dalam kitab fikih, maka
dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim,
hukum,mahkum bih, mahkum ‘alaih, mahkum lahu dan sumber hukum.
Salah satu kasus yang pernah terjadi pada masa Dinasti Umayah
adalah kasusnya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa kekhalifahan Al-Hakam
bin Hisyam. Seorang qadhi yang bernama yang bernama Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi
menghukum Ibnun Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu Fathais ketika
itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak menerima putusan tersebut Ibnu
Fathais naik banding/mengajukan perkaranya ini kepada Khalifah dengan alasan dia
telah dianiaya. Kemudian al-Hakam mengirim surat kepada Muhammad bin Basyir
al-Mu’arifi dengan menerangkan keberatan Ibnu Futhais. Maka surat Khalifah
dibalas oleh Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan mengatakan : “Ibnu Fathais tidak mengetahhui siapa-siapa
yang menjadi saksi atas kasusnya, karena jika dia tahu siapa yang menjadi
saksinya, maka dia akan mecari saksi tersebut dan tidak segan-segan
menyakitinya”[6].
d. Hakim-hakim yang terkenal
Hakim-hakim yang terkenal pada masa ini cukup banyak
yang tersebar di berbagai daerah, diantaranya adalah:[7]
a.
Al-Qadhi
Suraih bin al-Harits al-Kindi
Suraih
merupakan seorang qadhi yang cerdas
dan cepat dalam menyelesaikan suatu perkara dengan tepat. Suraih juga adalah
hakim yang berwibawa, karena beliau menyamaratakan antara rakyat dan penguasa
dalam siding pengadilan. Seperti yang pernah ia lakukan kepada Asy’ats bin Qais
yang datang menemuinya di pengadilan dan disambut ramah dan dipersilahkan duduk
di sampingnya. Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang mengadukan
tentang Asy’ats bin Qais ini. Maka suraih memerintahkan kepada Asy’ats bin Qais
untuk berdiri dari sampingnya dan duduk di tempat terdakwa, akan tetapi Asy’ats
menolaknya dan mengatakan akan menjawab pertanyaan dari tempat duduk suraih
saja. Lalu hakim menjawab: “kamu berdiri
dari tempat duduk ini dan duduk ditempat di tempat terdakwa atau saya
perintahkan orang lain menegakkan mu dan memaksamu pindah”. Mendengar hal
ini Asy’ats bin Qais berdiri dan pindah ke tempat duduk terdakwa.
b.
Al-Qadhi
Asisabi
Nama
lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi. Beliau merupakan seorang ulama
tabi’in yang terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seoranghakim di Kufah
menggantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima hadits darin abu Hurairah,
Ibnu Abbas, Aisyah, dan Ibnu Umar. Beliau juga adalah ahli fikih termasuk guru
tertua Imam Abu Hanifah.
c.
Al-Qadhi
Ijas
Nama
lengkapnya adlah Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari
Kahlifah Bani Umayah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya.
Beliau hidup di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
d.
Salim
bin Atas
Merupakan hakim
di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan
dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya, dan menyusun yurisprudensi
pada masa pemerintahan Muawiyah.
e.
Kodifikasi Putusan Hakim
Orang-orang yang berperkara biasanya mengajukan
perkaranya kepada hakim, maka hakim memeriksa serta memeberikan putusannya
dengan cara menerangkan kepada yang terhukum tentang fatwa sebagai dasar pegangan hakim. Putusan-putusan
hakim pada masa ini masih belum disususun dan dibukukan secara sempurna. Namun
seorang hakim yang bertugas di Mesir bernama Salim bin Ataz, merasa perlu
meregistrasikan putusan yangb telah ditetapkan, seiring dengan meningkatnya
perkara-perkara rakyat (sudah rusak akhlaknya), karena dalam masalah yang sama
tentang pembagian harta warisan terhadapa putusan hakim yang berbeda, sehingga
mereka kembali lagi kepada hakim untuk meminta keadilannya. Setelah hakim
memutuskan sekali perkara itu, maka putusan ittu ditulis dan dibukukan.[8]
Sehingga dapat dikatakan bahwa hakim yang bertugas
di Mesir bernama Salim bin Ataz adalah hakim pertama yang mencatat putusannya
dan menyusun yurisprudensi pada masa Muawiyah.
Selain
pencatatan dan penyusunan yurisprudensi, Muawiyah membuat sebuah biro registrasi,
karena ada yang berusaha memalsukan tanda tangannya.
Adapun tugas biro registrasi adalah membuat dan menyimpan setiap salinan dokumen
resmi sebelum distempel, dan mengirimkan lembaran aslinya. Pada masa Abdul
Malik, Dinasti Umayah membangun gedung arsip
Negara di Damaskus.
B.
Peradilan di masa Bani
Abbasiyah
a.
Sejarah Singkat
Bani Abbasiyah
Setelah
berakhirnya kekuasaan Dinasti BaniUmayyah maka
beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani
Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai denganpelantikan Khalifah Pertama Abul
Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan
menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah.Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada
tiga priode besar sebagai berikut :
1.
Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan)kerajaan
yang ditandai dengan kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmupengetahuan dan
pengembangan peradaban Islam. Priode ini berlangsung dari tahun132 H sampai
dengan 247 H. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Damaskus (padaDinasti Bani
Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah dan dipindahkan lagike Bagdad
pada masa Abu al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah lagi keSamura (Surra
man artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Muâtashim binHarun al-Rasyid
pada tahun 221 H.
2.
Priode kedua adalah
ditandai dengan kuatnyapengaruh orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai
dengan terbunuhnyaAl-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh anaknya
Al-Muâtashim pada tahun247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota kerajaan
hingga dipindahkannyaibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya oleh
Al-Muâtadid Billah padatahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa
ini posisi golonganArab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada
kerajaan pada masaAl-Maâmun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Muâtashim,
kemudian berlangsungpada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan
Masâud Al-Saljuki padatahun 590 H. Dan setelah itu terbebaslah kerajaan
Abbasiyah dari pengaruh Turkidan Persia hingga datangnya Hulagu Raja tartar ke
Bagdad dan membunuhAl-Muâtashim Billah Khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Irak
pada tahun 656 H.
3.
Priode ketiga ditandai dengan berpindahnyaKhalifah ke Mesir
pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatanAl-Mustaushin dan orang-orang
sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnyaAl-Mutawakkil Ali bin
Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifahsangat lemah sebab
khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan adapada kerajaan-kerajaan
kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zaman modern.[9]
b.
Ciri khas peradilan Islam di
masa Bani Abbasiyah
Jika pada masa Khulafa’ al-rasyidin dan Umayah Khalifah memegang kekuasaan
yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam
urusan peradilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan para hakim yang
ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini
mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan
persoaan politik baik dalam negri maupun luar negri.
Putusan-putusan para qadhi pada masa ini dipengaruhi mazhab-mazhab
yang telah muncul pada saat itu. Seorang qadhi di Irak memutuskan
perkara yang berpedoman pada mazhab Syafi’i, di syam dan Maghribi hakim
memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki, dan di Mesir hakim
memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.[10]
c.
Awal mula Qadhi al-Qudha’ (Mahkamah Agung)
Pada saat kendali
pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan peradaban telah semakin
meluas. Agama islam telah berkembang ke berbagai daerah, para fuqaha’ telah berpencar ke berbagai
negeri serta bermacam-macam kasus dan hal ihwal umat Islam telah banyak pula
yang terjadi dan berkembang. Karena itu maka terjadiah perbedaan pendapat
diantara ahli-ahli fiqh, sehingga muncullah istilahaat
fiqhiyyah (istilah-istilah fiqh) yang melahirkan ulama-ulama fiqh dan
mazhabnya.
Fokus perhatian ulama
fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah kehakiman (peradilan).
Diantaranya adalah:[11]
1.
Hukum membentuk lembaga
peradilan dan mengangkat qadhi.
2.
Hukum mewilayahi peradilan (hak
menjabat jabatan qadhi).
3.
Hukum berusaha supaya dijadikan
qadhi dan mengendalikan kehakiman.
4.
Menentukan keahlian para qadhi.
5.
Menetapkan sifat-sifat qadhi.
6.
Pekerjaan-pekerjaan qadhi (keweajiban-kewajiban qadhi) dalam persidangan.
7.
Pengangan qadhi dalam menetapkan hukum.
8.
Masalah yang berkaitan dengan
kehakiman dan qadhi (hakim).
Untuk menjadi hakim atau qadhi
dalam Islam, ada beberapa syarat yang harus dimiliki, yaitu:[12]
1.
Memiliki sifat-sifat seperti
yang digambarkan oleh Ali binAbi Thalib, yakni: tidak mempersempit perkataan,
tidak memeperluas perselisihan, tidak larut dalam permasalahan, tidak berat
kembali kepada kebenaran jika mengetahuinya, tidak mengarahkan dirinya kepada
ketamakan, tidak menganggap cukup dengan pemahaman yang minimal dengan
mengabaikan yang optimal, paling tegar sifatnya, paling bagus hujjahnya, paling
sedikit kebosanannya dalam mengoreksi, paling sabar dalam memaparkan perkara,
paling tegas ketika menjelaskan keputusan, bukan orangmudah tertarik sanjungan
dan tiadak condong kepada permusuhan. Selanjutnya amat cermat dalam mengambil
keputusan, senang menginfakkan hartana dijalan Allah SWT sehingga terhindar
dari penyakit butuh pemberian manusia.
2.
Memiliki sifat tegar, bersih, iffah (menghindari syubhat), santun, dan
mengetahui peradilan dan tradisi yang telah berlaku sebelumnya.
Sementara itu dalam pandangan fikih Islam secara umum, hakim mesti
memeiliki sifat-sifat: pertama, harus
orang dewasa; kedua, seorang yang
berakat; ketiga, muslim; keempat, adil yaitu benar sikapnya,
jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yng haram, dan amandari ridha ketika
marah; kelima,mengetahui hukum-hukum
syariah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya; keenam, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi
diangkat oleh Khalifah dari kalangan ulama yang memiliki sifat-sifat
sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi al-qudha’.
Orang yang pertama menjabat dan mendapat sebutan ini adalah Abu Yusuf, seorang
murid yang juga sahabat dari Imam Abu
Hanifah.[13]
Secara umum kewenangan badan-badan peradilan yang berada dibawah naungan
Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif adalah:[14]
1.
Al-Qadha’
Al-Qadha’
adalah lembaga yang berfungsi member penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan maslah
wakaf. Lembaga ini telah dirintis sejak zaman Rasulallah Saw., dan
disempurnakan pada msa sesudahnya, terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada
masa Dinasti Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada
mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
2.
Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu
badan pelaksana kekusasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan
kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat yang Hisbah disebut muhtasib.
Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi
hukum, menhatur ketertiban umum, mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga
serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara’.
3.
Al-Mazhalim
Al-Mazhalim adalah salah satu
komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi
penyelesaian erkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain
itu ia juaga menangani menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oeh
pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat
biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan
masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan al-qadha’ dan diwan
al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang dibuat oleh kedua hakim
tersebut atau menyelesaikan perkara banding.
4.
Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
Selain tiga peradilan diatas, pada masa pemerintahan Bani
Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah)
dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund. Posisi
ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah
menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan
tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
d.
Organisasi Kehakiman
Perubahan lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim
tidak lgi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada
kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian, syarat
hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian oragnisasi kehakiman juga
mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum
(kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah,
sebagai berikut:[15]
a.
Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan
tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi
al-qudha’ (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan
badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan qadhi
al-qudhah .
b.
Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi
yang menegetuai Pengadilan Tinggi).
c.
Qudhah al-Amsaar (hakim kota yang
mengetuai Pengadilan Negeri; al-Qadhau atau al-Hisbah).
d.
Al-sulthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan
kejaksaan di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa
Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa).
e. Luasnya wewenang hakim
Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa
sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah
mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah
tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi
mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke
pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang
ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa
dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya
memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga
tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung.
Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan
keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’
al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli
hukum.[16]
Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha
mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada
masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya
ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan
formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim
itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam
masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa
ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan
urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan
pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para
hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim)
yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait
al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu
adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.[17]
Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan
peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga
memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang
yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang
failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali
bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan
kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa
keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.[18]
f.
Sumber hukum
Jika pada masa Nabi Muhammad SAW. Perkata itu dengan
mudah bisa diputuskan oleh beliau karena memang sumber hukum berasal dari
beliau, baik Al-Qur’an maupun Hadits, maka pada masa Dinasti Abbasiyah sumber
hukum lebih bervariasi. Disampin al-Qur’an dan Hadits, sumber hukum yang banyak
digunakan oleh hakim kala itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang
ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya, yaitu putusan-putusan yang
ditinggalkan oleh hakim-hakim Umayah yang dijadikan rujukan oleh hakim-hakim
Abbasiyah.
Disamping itu, perkembangan pemikiran hukum yang digagas
oleh para imam mazhab, semakin memperkuat rujukan hakim dalam memeriksa dan
memutuskan perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani.[19]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa
pada masa kekuasaan Bana Umayyah, ketatalaksanaan peradilan makin
disempurnakan, badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri
dan terpisah dari kekuasaan politik. Pada masa Bani Umayyah belum ada hakim
yang khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara karena kekuasaan
ini dipegang oleh Khalifah sendiri. Ciri-ciri menonjol peradilan pada masa Bani
Umayyah, yaitu : Pertama, Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya
sendiri, Kedua, Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi dipengaruhi oleh
penguasa. Putusan-putusan hakim
pada masa mulai disususun dan dibukukan meskipun belum sempurna.
Peradilan pada masa Bani Abbasiyah sesungguhnya
meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh Bani Umayyah. Pada masa ini khalifah
tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan, akan tetapi hakim yang ditunjuk
oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Instansi diwan qadhi
al-qudhah beserta penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk. Disamping
al-Qur’an dan Hadits, yang menjadi sumber hukum kala itu adalah Yurisprudensi
atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya dan putusan-putusan
para qadhi pada masa ini juga dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah
muncul pada saat itu.
DAFTAR PUSTAKA
Syalaby, Ahmad. Sejarah
dan Kebudayaan Islam I. Jakarta: Pustaka al-Husna.
1983.
Ash Shiddieqy , Teungku
Muhammad Hasbi. Peradilan dan
Hukum Acara Islam.
Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Grafindo. 2011.
diakses tanggal 31
Oktober 2013.
diakses pada tanggal 31 Oktober
2013.
[1] Ahmad
Syalaby,Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al-Husna,
1983), hlm.27.
[2] Teungku Muhammad
Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara
Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 1997), hlm, 20.
[3] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo,
2011), hlm. 83-84.
[4] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo,
2011), hlm. 80-85.
[5] Teungku Muhammad
Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum
Acara Islam, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),
hlm, 53.
[8] Teungku Muhammad
Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum
Acara Islam, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),
hlm, 21.
[9] http://asadul-azzam.blogspot.com/2011/02/peradilan-pada-masa-dinasti-bani.html, diakses tanggal 31 Oktober 2013.
[10]
Teungku
Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan
dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001),
hlm, 22.
[11] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta:
PT. Grafindo, 2011), hlm. 115.
[12] Ibid. 117.
[13] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta:
PT. Grafindo, 2011), hlm. 118.
[14] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta:
PT. Grafindo, 2011), hlm. 130-131.
[15] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta:
PT. Grafindo, 2011), hlm. 123-125.
[17] Ibid. 124.
[18] http://bgmut.blogspot.com/2012/11/sejarah-peradilan-islam-pada-masa-bani.html, diakses pada
tanggal 31 Oktober 2013.
[19] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta:
PT. Grafindo, 2011), hlm. 127.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar