Kamis, 13 Maret 2014

Peradilan pada masa Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah



A.      Peradilan di masa Bani Umayah
a.      Sekilas tentang  Sejarah Bani Umayah
Sesudah terjadinya kekacauan di masa Ali  yang berakhir yang menandakan masa Khalifah al-Rasyidin berakhir, fase selanjutnya pemerintahan dipimpin oleh Dinasti Umayah. Dinasti ini di beribu kota di Damaskus dengan Khalifah pertamanya yaitu nn Muawiyah bin Abi Sofyan yang merupakan pendiri Dinasti Umayah itu sendiri.[1]
Dinasti umayah berkuasa selama kurang lebih 91 tahun dengan 14 Khalifah, namun hanya lima Khalifah yang menduduki jabatan dalam waktu yang cukup panjang dan memberikan pengaruh bagi perkembangan Islam. Kelima Khalifah tersebut yaitu Muawiyah bin Abu Sofyan, Abdul Malik bin Marwan, Walid bin Abdul Malik, Umar bin Abdul Aziz, dan Hasyim bin Abdul Malik. Sistem politik dan pemerintahan pada masa ini telah berubah, pemerintahan tidak lagi dilakukan secara musyawarah sebagaimana proses pergantian Khalifah sebelumnya. Suksesi dilakukan secara turun temurun.
b.      Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Umayah
Pada zaman Dinasti Umayah, al-qadha dikenal dengan al-Nizham al-Qadhaaiy (organisasi kehakiman), dimana kekuasaan pengadilan telah dipisahkan dari kekuasaan politik. ada dua ciri khas peradilan pada masa Bani Umayah, yaitu :[2]
1.         Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, dalam hal-halyang tidak ada nash atau ijma’. Ketika itu mazhab belum lahir dan belum menjadi pengikat bagi putusan-putusan hakim. Para hakim pada masa itu berpedoman kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
2.         Lembaga peradilan pada masa itu belum dipengaruhi oleh penguasa. Hakim-hakim pada masa itu mempunyai hak otonom yang sempurna, tidak dipengaruhi oleh keinginan-keinginan penguasa. Putusan-putusan mereka tidak saja berlaku atas rakyat biasa, bahkan juga berlaku atas penguasa-penguasa sendiri. Dari sudut yang lain, Khalifah selalu mengawasi gerak-gerik hakim dan mencatat yang menyeleweng dari garis-garis yang sudah ditentukan.
Pada zaman Bani Umayah ini, pengangkatan qadhi-qadhi yang bertugas di ibukota pemerintahan adalah Khalifah, sementara qadhi yang bertugas di daerah diserahkan pengangkatannya kepada kepala daerah. Sedangkan wewenang seorang hakim hanyalah memutuskan hukum suatu perkara,namun yang melaksanakan hasil putusan tersebut adalah Khalifah atau orang yang diperintahkan untuk melaksanakannya. Contoh: Hakim memutuskan hukuan terdakwa adalah qishash, sementara yang menjalankan hukum qishash tersebut adalah Khalifah sendiri.[3]  
Hukuman yang biasanya diputuskan dalam pengadilan pada masa ini adalah dalam bentuk denda, skorsing, penjara, pemotongan anggota tubuh dan dalam beberapa kasus khusus seperti bid’ah dan murtad hukuman mati menjadi hukuman final.
c.       Bentuk Peradilan
Adapun instansi dan tugas kekuasaan kehakiman dimasa Bani Umayah ini dapat dikategorikan menjadi tiga badan, yaitu:[4]
a.    al-Qadhaa’ merupakan tugas qadhi dalam menyelesaikan perkara-perkara yang berhubungan dengan agama. Disamping itu badan ini juga mengatur institusi wakaf, harta anak yatim, dan orang yang cacat mental.
b.    al-Hisbah merupakan tugas al-muhtasib (kepala hisbah) dalam menyelesaikan perkara-perkara umum dan soal-soal pidana yang memerlukan tindakan cepat. Selain itu al-muhtasib juga bertindak sebagai pengawas perdagangan dan pasar, memeriksa takarandan timbangan serta ikut mengawasi kasus-kasus perjudian, seks amoral, dan busana yang tidak layak di depan umum.
Kewengangan wilayah hisbah sesungguhnya merupakan kewenangan untuk menyuruh berbuat baik dan melarang berbuat munkar, serta menjadikan kemaslahatan dalam masyarakat. Upaya ini digolongkan pada usaha untuk memberikan penekanana terhadap ketentuan-ketentuaun hukum agar dapat terealisasi dalam masyarakat secara maksimal. Disamping itu wilayah hisbah dapat memberikan tindakan secara langsung bagi pihak-pihak yang melakukan pelanggaran.
c.    al-Nadhar fi al-Mazhalim merupakan mahkamah tinggi atau mahkamah banding dari mahkamah di bawahnya (al-qadha dan al-Hisbah). Lembaga ini juga dapat mengadili para hakim dan pembesar Negara yang berbuat salah.
Dalam pengadilan kategori ini dalam melakukan sidangnya langsung dibawah pimpinan Khalifah. Sebagaimana Khalifah Abdul Malik bin Marwan yang pernah menjadi ketua mahkamah mazhalim dalam menjalankan tugasnya sebagai ketua mahkamah mazhalim saat itu Khalifah Abdul Malik bin Marwan dibantu oleh orang pejabat penting lainnya, yaitu:
1.        Pembela, kelompok ini dipilih dari orang-orang yang mampu mengalahkan pihak terdakwah yang menggunakan kekerasan atau melarikan diri dari pengejaran pengadilan.
2.        Hakim, hakim yang berprofesi sebagai penasihat bagi kepala mahkamah al-mazhalim, sehingga dengan berbagai cara, apa yang menjadi hak pihak yang teraniaya dapat dikembalikan. Kepada seluruh yang hadir dapat dijelaskan tentang kasus yang terjadi dengan sesungguhnya.
3.        Ahli fikih, sebagaitempat para hakim mahkamah al-mazhalim mengembalikan perkara syariah yang sulit menentukan hukumnya.
Ada beberapa catatan pada peradilan di masa Umayah yang menggambarkan perlunya ahli fikih, yaitu: pertama, setiap kota memiliki kemampuan untuk berijtihad dalam mengistimbatkan hukum, mereka inilah yang dijadikan qadhi untuk menyelesaikan perkara yang masuk. Mereka ahli ijtihad dan bukan taqlid. Kedua,Qadha dan fatwa dipandang sederajad. Fatwa dalam periode ini sama dengan qadha; yaitu fatwa qadhi dipandang putusan. Fatwa yang dikeluarkan qadhi menjadi hukum. Ketiga, putusan seorang qadhi tidak bisa dibatalkan oleh keputusan qadhi yang lain. Karena ijtihad tidak bisa membatalkan ijtihad.
4.        Sekretaris, bertugas mencatat perkara yang diperselisihkan dan mencatat ketetapan apa yang menjadi hak dan kewajiban pihak-pihak yang berselisih.
5.        Saksi, bertugas memberian keasaksian terhadap ketetapan hukum yang disampaikan oleh hakim yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
Suatu perkara yang diselesaikan melalui mahkamah mazhalim ini dinyatakan tidak sah, apabila salah satu unsur yang lima tersebut tidak hadir.[5]
Jadi, sistem peradilan pada masa Bani Umayah telah berjalan dengan detail dan kuatnya putusan yang diambil oleh hakim dalam menetapkan suatu perkara. Penilaian ini jika dirujuk dalam kitab fikih, maka dalam menetapkan suatu kasus harus ada hakim, hukum,mahkum bih, mahkum ‘alaih, mahkum lahu dan sumber hukum.
Salah satu kasus  yang pernah terjadi pada masa Dinasti Umayah adalah kasusnya Ibnu Futhais. Kasus ini terjadi pada masa kekhalifahan Al-Hakam bin Hisyam. Seorang qadhi yang bernama yang bernama Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi menghukum Ibnun Futhais dengan tidak menghadirkan saksi. Ibnu Fathais ketika itu berpangkat wazir (menteri). Karena tidak menerima putusan tersebut Ibnu Fathais naik banding/mengajukan perkaranya ini kepada Khalifah dengan alasan dia telah dianiaya. Kemudian al-Hakam mengirim surat kepada Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan menerangkan keberatan Ibnu Futhais. Maka surat Khalifah dibalas oleh Muhammad bin Basyir al-Mu’arifi dengan mengatakan : “Ibnu Fathais tidak mengetahhui siapa-siapa yang menjadi saksi atas kasusnya, karena jika dia tahu siapa yang menjadi saksinya, maka dia akan mecari saksi tersebut dan tidak segan-segan menyakitinya”[6].
d.      Hakim-hakim yang terkenal
Hakim-hakim yang terkenal pada masa ini cukup banyak yang tersebar di berbagai daerah, diantaranya adalah:[7]
a.         Al-Qadhi Suraih bin al-Harits al-Kindi
Suraih merupakan seorang qadhi yang cerdas dan cepat dalam menyelesaikan suatu perkara dengan tepat. Suraih juga adalah hakim yang berwibawa, karena beliau menyamaratakan antara rakyat dan penguasa dalam siding pengadilan. Seperti yang pernah ia lakukan kepada Asy’ats bin Qais yang datang menemuinya di pengadilan dan disambut ramah dan dipersilahkan duduk di sampingnya. Tidak lama kemudian datanglah seorang laki-laki yang mengadukan tentang Asy’ats bin Qais ini. Maka suraih memerintahkan kepada Asy’ats bin Qais untuk berdiri dari sampingnya dan duduk di tempat terdakwa, akan tetapi Asy’ats menolaknya dan mengatakan akan menjawab pertanyaan dari tempat duduk suraih saja. Lalu hakim menjawab: “kamu berdiri dari tempat duduk ini dan duduk ditempat di tempat terdakwa atau saya perintahkan orang lain menegakkan mu dan memaksamu pindah”. Mendengar hal ini Asy’ats bin Qais berdiri dan pindah ke tempat duduk terdakwa.
b.        Al-Qadhi Asisabi
Nama lengkapnya adalah Amir bin Surah bin asy-Sya’bi. Beliau merupakan seorang ulama tabi’in yang terkenal, lahir tahun 17 H. beliau adalah seoranghakim di Kufah menggantikan Suraih. Beliau juga banyak menerima hadits darin abu Hurairah, Ibnu Abbas, Aisyah, dan Ibnu Umar. Beliau juga adalah ahli fikih termasuk guru tertua Imam Abu Hanifah.
c.         Al-Qadhi Ijas
Nama lengkapnya adlah Abu Wailah Ijas bin Muawiyah bin Qurrah, merupakan qadhi dari Kahlifah Bani Umayah yang paling adil, cerdas, dan paling tepat firasatnya. Beliau hidup di masa pemerintahan Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
d.        Salim bin Atas
Merupakan hakim di daerah Mesir yang terkenal piawai dalam menyelesaikan perkara-perkara dan dialah permulaan hakim yang mencatat putusannya, dan menyusun yurisprudensi pada masa pemerintahan Muawiyah.
e.       Kodifikasi Putusan Hakim
Orang-orang yang berperkara biasanya mengajukan perkaranya kepada hakim, maka hakim memeriksa serta memeberikan putusannya dengan cara menerangkan kepada yang terhukum tentang fatwa sebagai dasar pegangan hakim. Putusan-putusan hakim pada masa ini masih belum disususun dan dibukukan secara sempurna. Namun seorang hakim yang bertugas di Mesir bernama Salim bin Ataz, merasa perlu meregistrasikan putusan yangb telah ditetapkan, seiring dengan meningkatnya perkara-perkara rakyat (sudah rusak akhlaknya), karena dalam masalah yang sama tentang pembagian harta warisan terhadapa putusan hakim yang berbeda, sehingga mereka kembali lagi kepada hakim untuk meminta keadilannya. Setelah hakim memutuskan sekali perkara itu, maka putusan ittu ditulis dan dibukukan.[8]
Sehingga dapat dikatakan bahwa hakim yang bertugas di Mesir bernama Salim bin Ataz adalah hakim pertama yang mencatat putusannya dan menyusun yurisprudensi pada masa Muawiyah.
Selain pencatatan dan penyusunan yurisprudensi, Muawiyah membuat sebuah biro registrasi, karena ada yang berusaha memalsukan tanda tangannya. Adapun tugas biro registrasi adalah membuat dan menyimpan setiap salinan dokumen resmi sebelum distempel, dan mengirimkan lembaran aslinya. Pada masa Abdul Malik, Dinasti Umayah membangun gedung arsip Negara di Damaskus.
B.       Peradilan di masa Bani Abbasiyah
a.      Sejarah Singkat Bani Abbasiyah
Setelah berakhirnya kekuasaan Dinasti BaniUmayyah maka beralihlah Khilafah Islamiyah kepada keluarga Muhammad SAW yaitu Bani Abbas bin Abdul Mutholib yang ditandai denganpelantikan Khalifah Pertama Abul Abbas As-Saffah, yang dibaiat pada tanggal 3Rabiul Awwal 132 H di Kufah dan menjadikan pusat pemerintahannya di Kufah.Dinasti Abbasiyah ini terbagi kepada tiga priode besar sebagai berikut :
1.         Priode pertama adalah priode kekuatan (kejayaan)kerajaan yang ditandai dengan kehebatannya dalam bidang pengembangan ilmupengetahuan dan pengembangan peradaban Islam. Priode ini berlangsung dari tahun132 H sampai dengan 247 H. Ibukota kerajaan dipindahkan dari Damaskus (padaDinasti Bani Umayyah) ke Anbar di Irak pada masa As-Saffah dan dipindahkan lagike Bagdad pada masa Abu al-Mansur tahun 147 H dan kemudian pindah lagi keSamura (Surra man artinya yang melihat akan senang) pada masa Al-Muâtashim binHarun al-Rasyid pada tahun 221 H.
2.          Priode kedua adalah ditandai dengan kuatnyapengaruh orang-orang Turki pada Khalifah yang dimulai dengan terbunuhnyaAl-Mutawakkil Sang Khalifah dan diganti oleh anaknya Al-Muâtashim pada tahun247 H dan tetaplah Sammura sebagai ibukota kerajaan hingga dipindahkannyaibukota kerajaan ke Bagdad untuk kedua kalinya oleh Al-Muâtadid Billah padatahun 279 H. Satu hal yang perlu dicatat bahwa pada masa ini posisi golonganArab sangat lemah sebab keturunan Persia telah masuk pada kerajaan pada masaAl-Maâmun kemudian keturunan Turki pada masa Al-Muâtashim, kemudian berlangsungpada masa Al-Buwaihi dan Saljuk hingga wafatnya Sultan Masâud Al-Saljuki padatahun 590 H. Dan setelah itu terbebaslah kerajaan Abbasiyah dari pengaruh Turkidan Persia hingga datangnya Hulagu Raja tartar ke Bagdad dan membunuhAl-Muâtashim Billah Khalifah terakhir Bani Abbasiyah di Irak pada tahun 656 H.
3.         Priode ketiga ditandai dengan berpindahnyaKhalifah ke Mesir pada tahun 659 H yang ditandai dengan pengangkatanAl-Mustaushin dan orang-orang sesudahnya. Khalifah ini bertahan hingga wafatnyaAl-Mutawakkil Ali bin Al-Mustamsik pada tahun 995 H. Priode ini posisi khalifahsangat lemah sebab khalifah hanyalah sekedar simbol, sementara kekuatan adapada kerajaan-kerajaan kecil. Kondisi ini semacam negara federal di zaman modern.[9]
b.      Ciri khas peradilan Islam di masa Bani Abbasiyah
Jika pada masa Khulafa’ al-rasyidin  dan Umayah Khalifah memegang kekuasaan yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan para hakim yang ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoaan politik baik dalam negri maupun luar negri.
Putusan-putusan para qadhi pada masa ini dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu. Seorang qadhi di Irak memutuskan perkara yang berpedoman pada mazhab Syafi’i, di syam dan Maghribi hakim memutuskan perkara berdasarkan pada mazhab Maliki, dan di Mesir hakim memutuskan perkara berpedoman pada mazhab Syafi’i.[10]
c.       Awal mula Qadhi al-Qudha’ (Mahkamah Agung)
Pada saat kendali pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan peradaban telah semakin meluas. Agama islam telah berkembang ke berbagai daerah, para fuqaha’ telah berpencar ke berbagai negeri serta bermacam-macam kasus dan hal ihwal umat Islam telah banyak pula yang terjadi dan berkembang. Karena itu maka terjadiah perbedaan pendapat diantara ahli-ahli fiqh, sehingga muncullah istilahaat fiqhiyyah (istilah-istilah fiqh) yang melahirkan ulama-ulama fiqh dan mazhabnya.
Fokus perhatian ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah kehakiman (peradilan). Diantaranya adalah:[11]
1.         Hukum membentuk lembaga peradilan dan mengangkat qadhi.
2.         Hukum mewilayahi peradilan (hak menjabat jabatan qadhi).
3.         Hukum berusaha supaya dijadikan qadhi dan mengendalikan kehakiman.
4.         Menentukan keahlian para qadhi.
5.         Menetapkan sifat-sifat qadhi.
6.         Pekerjaan-pekerjaan qadhi (keweajiban-kewajiban qadhi) dalam persidangan.
7.         Pengangan qadhi dalam menetapkan hukum.
8.         Masalah yang berkaitan dengan kehakiman dan qadhi (hakim).
Untuk menjadi hakim atau qadhi dalam Islam, ada beberapa syarat yang harus dimiliki, yaitu:[12]
1.         Memiliki sifat-sifat seperti yang digambarkan oleh Ali binAbi Thalib, yakni: tidak mempersempit perkataan, tidak memeperluas perselisihan, tidak larut dalam permasalahan, tidak berat kembali kepada kebenaran jika mengetahuinya, tidak mengarahkan dirinya kepada ketamakan, tidak menganggap cukup dengan pemahaman yang minimal dengan mengabaikan yang optimal, paling tegar sifatnya, paling bagus hujjahnya, paling sedikit kebosanannya dalam mengoreksi, paling sabar dalam memaparkan perkara, paling tegas ketika menjelaskan keputusan, bukan orangmudah tertarik sanjungan dan tiadak condong kepada permusuhan. Selanjutnya amat cermat dalam mengambil keputusan, senang menginfakkan hartana dijalan Allah SWT sehingga terhindar dari penyakit butuh pemberian manusia.
2.         Memiliki sifat tegar, bersih, iffah (menghindari syubhat), santun, dan mengetahui peradilan dan tradisi yang telah berlaku sebelumnya.
Sementara itu dalam pandangan fikih Islam secara umum, hakim mesti memeiliki sifat-sifat: pertama, harus orang dewasa; kedua, seorang yang berakat; ketiga, muslim; keempat, adil yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya, menjaga diri dari hal-hal yng haram, dan amandari ridha ketika marah; kelima,mengetahui hukum-hukum syariah, baik dasar-dasar syariah maupun cabang-cabangnya; keenam, sehat pendengaran, penglihatan dan ucapan.
Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi diangkat oleh Khalifah dari kalangan ulama yang memiliki sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapat sebutan ini adalah Abu Yusuf, seorang murid yang  juga sahabat dari Imam Abu Hanifah.[13]
Secara umum kewenangan badan-badan peradilan yang berada dibawah naungan Mahkamah Agung sebagai kekuasaan yudikatif adalah:[14]
1.         Al-Qadha’
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi member penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisihan dan maslah wakaf. Lembaga ini telah dirintis sejak zaman Rasulallah Saw., dan disempurnakan pada msa sesudahnya, terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa Dinasti Abbasiyah setiap perkara diselesaikan dengan berpedoman pada mazhab masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
2.         Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekusasaan kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan dan mencegah kezaliman. Pejabat yang Hisbah disebut muhtasib. Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu segera, mengawasi hukum, menhatur ketertiban umum, mencegah terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang mempermainkan hukum syara’.
3.         Al-Mazhalim
Al-Mazhalim adalah salah satu komponen peradilan yang berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi penyelesaian erkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan negara. Selain itu ia juaga menangani menangani kasus-kasus penganiayaan yang dilakukan oeh pejabat tinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh diwan al-qadha’ dan diwan al-muhtasib, serta meninjau kembali putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut atau menyelesaikan perkara banding.
4.         Al-Mahkamah Al-‘Askariyah
Selain tiga peradilan diatas, pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah juga dibentuk mahkamah/peradilan militer (al-Mahkamah al-Askariyah) dengan hakimnya adalah qadhi al-‘askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah ada sejak zaman sultan Shalahuddin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan tersebut menyangkut anggota militer atau tentara.
d.      Organisasi Kehakiman
Perubahan lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para hakim tidak lgi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka berpedoman pada kitab-kitab mazhab yang empat atau mazhab lainnya. Dengan demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian oragnisasi kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabatan penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-qudhah, sebagai berikut:[15]
a.         Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudha’ (ketua Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan lain yang ada hubungannya dengan kehakiman berada dibawah diwan qadhi al-qudhah .
b.         Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang menegetuai Pengadilan Tinggi).
c.         Qudhah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri; al-Qadhau atau al-Hisbah).
d.         Al-sulthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan di ibukota negara dipimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota oleh Naib Ummy (jaksa).
e.       Luasnya wewenang hakim
 Perbedaan masa Abbasiyah dengan masa sebelumnya adalah ketika masa Khulafa’ al-Rashidin dan masa Ummayah mereka memegang kekuasaan Yudikatif dan ekskutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan. Dalam artian khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke pengadilan, maka para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat itu khalifah Abbasiyah sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik, baik dalam negeri maupun luar negeri, sehingga tidak memiliki kesempatan lagi untuk membina peradilan secara langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh Khulafa’ al-Rashidin yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli hukum.[16]
Pada pada awalnya dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya karena berbagai faktor campur tangan itu akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerah yang setiap hakim itu pada akhirnya memiliki otorita dan independenitas yang tinggi. Kalau dalam masa-masa yang telah lalu, batas wewenang hakim begitu luasnya, maka dalam masa ini bertambah lagi. Dalam masa ini, hakim-hakim itu di samping memperhatikan urusan-urusan perdata, bahkan juga menyelesaikan urusan wakaf, dan menunjukkan pengampu (kurator) untuk anak-anak di bawah umur. Bahkan kadang-kadang para hakim ini diserahkan juga urusan-urusan kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas, hisbah, pemalsuan mata uang dan bait al-mal (kas negara). Salah seorang hakim yang terkemuka pada saat itu adalah Yahya ibn Aktsam ash-Shafi yang diangkat oleh al-Makmun.[17]
Dalam hal ini Ibnu Khaldun mengatakan bahwa, kedudukan peradilan selain untuk menyelesaikan perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan keadaan anak-anak di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang failit, dan lain-lain, serta mengurus harta-harta warisan, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak memiliki wali dan memperhatikan kemaslahatan-kemaslahatan lalu lintas, pembangunan dan memeriksa keadaan-keadaan saksi agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan yang tidak.[18]
f.       Sumber hukum
Jika pada masa Nabi Muhammad SAW. Perkata itu dengan mudah bisa diputuskan oleh beliau karena memang sumber hukum berasal dari beliau, baik Al-Qur’an maupun Hadits, maka pada masa Dinasti Abbasiyah sumber hukum lebih bervariasi. Disampin al-Qur’an dan Hadits, sumber hukum yang banyak digunakan oleh hakim kala itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya, yaitu putusan-putusan yang ditinggalkan oleh hakim-hakim Umayah yang dijadikan rujukan oleh hakim-hakim Abbasiyah.
Disamping itu, perkembangan pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab, semakin memperkuat rujukan hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara di sidang-sidang pengadilan yang mereka jalani.[19]


BAB III
PENUTUP
A.      Kesimpulan
Dari uraian di atas dapat penulis ambil kesimpulan bahwa pada masa kekuasaan Bana Umayyah, ketatalaksanaan peradilan makin disempurnakan, badan peradilan mulai berkembang menjadi lembaga yang mandiri dan terpisah dari kekuasaan politik. Pada masa Bani Umayyah belum ada hakim yang khusus yang memutuskan perkara pidana dan hukuman penjara karena kekuasaan ini dipegang oleh Khalifah sendiri. Ciri-ciri menonjol peradilan pada masa Bani Umayyah, yaitu : Pertama, Hakim memutuskan perkara menurut hasil ijtihadnya sendiri, Kedua, Lembaga peradilan pada masa itu belum lagi dipengaruhi oleh penguasa. Putusan-putusan hakim pada masa mulai disususun dan dibukukan meskipun belum sempurna.
Peradilan pada masa Bani Abbasiyah sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh Bani Umayyah. Pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat dalam urusan peradilan, akan tetapi hakim yang ditunjuk oleh khalifahlah yang akan mengusut perkara tersebut. Instansi diwan qadhi al-qudhah beserta penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk. Disamping al-Qur’an dan Hadits, yang menjadi sumber hukum kala itu adalah Yurisprudensi atau Preseden hukum yang ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelumnya dan putusan-putusan para qadhi pada masa ini juga dipengaruhi mazhab-mazhab yang telah muncul pada saat itu.


DAFTAR PUSTAKA
Syalaby, Ahmad. Sejarah dan Kebudayaan Islam I. Jakarta: Pustaka al-Husna.
           1983.
Ash Shiddieqy , Teungku Muhammad Hasbi. Peradilan dan Hukum Acara Islam.
            Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra. 2001
Koto, Alaidin. Sejarah Peradilan Islam. Jakarta: PT. Grafindo. 2011.
            diakses tanggal 31 Oktober 2013.
            diakses pada tanggal 31 Oktober 2013.


[1] Ahmad Syalaby,Sejarah dan Kebudayaan Islam I, (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1983), hlm.27.
[2] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), hlm, 20.
[3] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 83-84.
[4] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 80-85.
[5] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm, 53.
[6] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 89.
[7] Ibid. 88-90.
[8] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm, 21.
[10] Teungku Muhammad Hasbi ash Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, (Semarang, PT. Pustaka Rizki Putra, 2001), hlm, 22.
[11] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 115.
[12] Ibid. 117.
[13] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 118.
[14] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 130-131.
[15] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 123-125.
[16] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 123.
[17] Ibid. 124.
[19] Alaidin koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT. Grafindo, 2011), hlm. 127.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar