Kamis, 13 Maret 2014

Cerpen



^Maafkan Aku^

Cika… ! bagun cik...! awas subuh mu kepatok ayam looo...” suara wanita paru baya terdengar lembut di telingaku. Yah itu suara ibu ku yang setip hari membangunkan ku dengan penuh kasih. Dengan suara yang malas ku jawab suara lembut ibu ku “Iya bu, Cika bangun...”. Perlahan ku buka mata ku meski hanya mampu membukanya setengah saja, ku ambil handuk pink ku dan kemudian ku langkahkan kaki ku menuju kamar mandi.
Embun dan angin menyentuh dedadunan yang menempel di ranting-ranting pohon, sesaat ku buka jendela kamarku, terlihat mentari mulai mengintip dibalik awan, suara burung mengalun merdu bak biola yang dimainkan, sisa-sisa kesejukan masih dapat ku rasakan. Sungguh pagi yang indah.
“Jrejedt... jrejedt...” ponsel ku bergetar, ternyata ada pesan masuk dari Dirli sahabat ku. “ jam lapan ku jemput kamu, tidak ada kata ‘tunggu’ okey...” seperti sudah faham dengan kebiasaan ku yang selalu membuatnya menunggu jika dia menjemput ku. Ku balas smsnya dengan senyuman sok manis. Jam delapan pagi aku dan Dirli berencana pergi ke rumah Naya sahabat kami. Katanya Dirli sih mau ngadain rapat penting. Hahaha kayak DPR aja tu Dirli sok penting, padahal hanya mau rembuaan masalah “rujaan” bersama temen-temen SD. Iya sih kami lama gak ngumpul-ngumpul setelah lulus SMA kami berpencar, ada yang kuliah di luar kota, ada yang kerja, bahkan ada yang ikut suami. Rasanya kangen berat dengan celoteh teman-teman yang selalu meramaikan ruang kelas dulu.
“Ti...tidt....“ terdengar suara klakson didepan rumah. Tiada lain tiada bukan itu Suara klakson motor Dirli. Aku yang baru saja selesai memakai penutup kepala yang sering aku sebut jilbab bergegas pamitan kepada ibu ku tersayang. “Bu aku ke rumah Naya dulu ya, bareng Dirli” ku raih tangan ibu ku tanda meminta izin, “Iya hati-hati,,,” kecupan mesra mendarat di pipi kiri ku. “Assalamu’alaikum...” sambung ibu “wa’alaikumsalam” sambil tersenyum malu ku menjawab salam ibu, karena tergesa-gesa takut Dirli nunggu lama aku sampai lupa mengucapkan salam.  
  Rapat kali ini lumayan seru, soalnya tidak hanya ada kami bertiga tapi juga ada Nana yang ikut meramaiakan rapat kali ini. Usai rapat kami langsung menghubungi teman-teman yang lain, tidak tanggung-tanggung kami juga mengunjungi rumah mereka yang bisa kami jangkau. Alhasil, actuating dari hasil rapat kami tidak sia-sia. Teman-teman pada bisa semua. “Hmmmm senangnya hati ini” gumam ku.
Jam 9 lewat 10 menit teman-teman mulai pada datang, Dirli, Naya dan Nana sedang sibuk mempersiapkan bahan-bahan rujak. Sedangkan aku, aku bertugas menyambut teman-teman yang datang. Salah satu dari mereka ada yang berbisik pada ku, dia umar “ kamu tambah manis sekarang “. Seketika alisku menyatu bak jembatan Suramadu dan tak luput wajah ku memerah karna malu. “Ada apa pula umar sampai bilang itu ke aku ?” “Apa aku memang tambah manis ?” bisik ku dalam hati. “Astaghfirullah” ku sadarkan diriku dari pikiran yang aneh-aneh. Kala itu suasana sangat mengasyikkan, celoteh mereka kembali, seakan suasana 10 tahun yang lalu terulang kembali. Tawa kami menghiasi ruangan yang setengah terbuka. Tak terasa hari semakin siang, si raja siang pun telah sampai di tengah perjalanan tanda waktu dhuhur mulai masuk. Rasanya hati ini tidak rela untuk pulang, tapi tidak ada pilihan lain, teman-teman ada yang punya kepentingan lain. Jadinya kami putuskan acara sperti ini bisa dilanjutkan lain waktu. Dengan hati yang setengah berat setengah tidak kami pun pulang berpisah.
***
“Jre...jedtjre..jedt...” tak sempat ku rebahkan badan ku ke kasur, ponsel ku bergetar di saku rok ku. “ada apa lagi si dirli ini ?!” gumam ku yang menyangka pasti sms dari Dirli. (Glurph!!) ku bak menelan sesuatu. Ternyata bukan sms dari Dirli melainkan dari Umar. “Siank Cik, udah nyampek rumah ya ?” isi smsnya. Ku balas sms umar tanpa perasaan curiga. “Siank juga, iya nih baru aja nyampek” balasku. Semenjak itu umar sering mengirim sms ke nomer ponsel ku, sekedar tanyak sedang apa  dan bahkan dia mengirim sms yang berisikan kata-kata yang mirip puisi kepada ku. Awalnya ku menanggapinya biasa-biasa saja, “mungkin dia hanya iseng aja” pikirku, karena ku tahu umar orangnya sedikit puitis.
Sampai pada suatu malam, sms dari umar mengagetkan ku “Ada dimana ? aku ada di depan rumah mu nih. Bisa gak kamu keluar ?”. ku sontak kaget, hampir saja minuman yang ku pengang tumpah saat membaca sms dari dia. Karena penasaran ku buka pintu rumah dan ku dapati dia menebar senyum saat tahu yang membuka pintu adalah diri ku. “heiy....” sapanya. ku membalasnya dengan senyum dan menyuruhnya masuk, tapi dianya lebih memilih diluar. Katanya sih biar bisa melihat bulan. “Malam ini bulan bersinar terang ya ?”  tanyanya. “iya, tapi sayang bulannya tertutupi awan putih tuh” sambil melihat bulan ku jawab pertanyaan umar. “Tapi tetap terang kok, malah sangat terang”, mendengar pernyatan umar yang ku rasa rada-rada melenceng, ku langsung palingkan pandangan ku kearahnya. Degh ! ternyata dia menatapku sedari tadi. Empat mata telah bertemu, “Astaghfirullah” kutundukkan pandangan ku. Benar-benar ku dibuat salting olehnya. “Maaf” sepontan kata itu terlontar dari bibir umar saat mendengar bacaan Istighfar ku. Dengan menundukkan pandangannya dia berkata “cik, mungkin bulan malam ini redup karena dia tahu saat ini hati ku juga redup”. “redup ?” sahut ku. “Iya redup, redup karena seseorang telah mencuri sinar hati ku ” ku keryutkan alis ku tanda tidak faham apa maksud umar, dia melanjutkan perkataannya “Stiap kali ku teringat pada orang itu, saat itu pula sinar hatiku seakan ada yang mencuri hinnga redup seperti bulan malam ini” “kamu tau tidak, siapa orang itu ?”. “Siapa ?” jawab ku. “Orang itu C-I-K-A”. Gurlph !! ku telan air liur ku. ku terdiam tak dapat berkata-kata lagi. “Apabila ku ingin meminta kembali sinar hati bersama sinar hati mu kamu besedia gak?“ wajah umar tampak serius, “haaa ? hmmm… A..Aku….” belum selesai ku berkata umar memotong pembicaraan ku “ ku tahu kamu pasti tadak bisa menjawabnya sekarang, ku akan menunggu jawaban mu, ku pamit dulu. Assalamu’alaikum” “wa’alaikumsalam” jawab ku pelan.
***
Semalaman ku tak bisa tidur di buatnya, tak dapat ku pungkiri suasana hati ku seperti taman bunga di saat musim semi. Namun aku masih bingung entah jawaban apa yang akan ku berikan. Seusai menyapu dan merapikan stiap ruangan di rumah, ku jalan-jalan pagi untuk menghilangkan kegundahan hatiku. Untuk sekian kalainya ponsel ku bergetar ternyata sms dari Umar. Dia kembali menanyakan jawaban ku atas pertanyaan tadi malam. Ku biarkan jemari ku menekan huruf “Y dan A” dan ku tekan tombol kirim di ponsel ku. Yah di saat itulah kami memulai sebuah hubungan yang sering di sebut “Pacaran”. Kami sering saling mengirim kata-kata mesra, kami juga sering ketemuan dan tak hayal kami berpegangan tangan.
Dua minggu hubungan itu berjalan, entah berapa kali kemaksiatan yang kami lakukan. Kami bermesraan dengan kata-kata dan bila ketemuan kulit kami pun bertemu pula, meskipun hanya sebatas berpegangan tangan.
Saat ku angkat tanganku seraya bertakbir perasaan gundah mengganggu kekhusyuan sholat ku. hati ku bertanya-tanya “Bukankah dalam Islam tidak ada istilah pacaran ? Apakah Allah akan menjauh melihat diri ku saat ini? Apakah aku akan tetap mendapatkan Rahmat-Nya setelah apa yang aku lakukan bersama Umar ?”  hati ku kembali gundah. Di setiap sholat ku tak lagi khusyuk, pertanyaan-pertanyaan itu selalu mengahantuiku. Ku merasa sudah tidak kuat lagi, ku ambil kertas putih dan bolpoin biru kesayangan ku, kuluapkan semua yang ku rasakan, ku susun kata demi kata, bak seorang penyair yang sedang merangkai kata. Dengan satu batang congklat ku suruh adik sepupuku mengantarkan surat itu kepada Umar.



Di setiap air Wudhu’ membasahi ku,
Di setiap Mukenah menyelimuti ku,
Hati kecil ku slalu berseru dan berseru,
Bertanya-tanya pada diri ku,
Saat Takbir ku angkat kedua tangan ku,
Diri ini penuh ragu,
Benarkah apa yang aku jalani ini ?,
Apakah Allah ridho atas apa yang telah aku jalani ini ?,
Keraguan slalu mengganggu KEKHUSYUKAN ku,
Aku tak bisa lagi menahan kegelisahan ini,
Mungkin sampai di sini apa yang kita jalani ini berhenti,
Trima kasih atas semua yang telah kamu berikan slama ini,
Aku minta maaf, beribu maaf,,,
Aku tak bisa lagi melanjutkan hubungan ini,
Mungkin lebih baik dan sribu lebih baik lagi,
Jika kita menjadi teman, menjadi sahabat seperti dulu,
Dengan begitu mungkin Allah lebih meridhoi,
Aku tau ini tak mudah,
Setelah goresan pink terlanjur tergores dalam hati kita,
Dengan air mata yang berlinang,
Aku tulis surat ini, karena aku tak sangup berkata langsung,
Aku tak sanggup,,,,,,
Aku hanya bisa berharap “ kamu mengerti “
Dan
Semoga ALLAH MENGAMPUNI KEKHILAFAN KITA SELAMA INI

Maafkan aku

Ttd 
Bulan…




by: Alphu Cika

Tidak ada komentar:

Posting Komentar